bjb
Berita  

Orasi 28 Bahasa Memukau Warga Pangandaran

“Kami masih berburu babi, rusa dan monyet. Akan tetapi setelah saya belajar banyak hal, kami di Flores seharusnya mencari alternatif agar hewan-hewan itu tidak punah”.

Salah satu penggalan orasi yang disampaikan Emanuel Hendrikus saat menerjemahkan isi orasi dengan bahasa Flores, Selasa (30/10).

Emanuel ada satu dari 28 orator yang berorasi dengan bahasa lokalnya pada Festival 28 Bahasa dalam rangka memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda di halaman SMK Bakti Karya Parigi Kabupaten Pangandaran.

Selain Eman, ada juga Febri, seorang anak suku asli Serawai Bengkulu. Ia menuturkan soal tempat tinggalnya yang masih hijau namun sudah banyak dirusak.

Marice (15) asal Tambraw Papua Barat bahkan membuat ratusan yang hadir pada acara itu terharu dan menangis. Ia bertutur tentang betapa sulitnya ia dan kawan di kampungnya untuk bersekolah.

“Orang tua dan orang sekampung saya melarang sekolah di Jawa. Katanya di jawa orang-orang semuanya putih” kata Marice yang direspon gelak tawa hadirin.

“Tapi saya bertekad ingin sekolah karena orang tua saya tidak selesai sekolah, dan Saya ingin mendapatkan pengetahuan walaupun tak punya biaya. Untuk mencari uang 2000 saja, ayah saya sulit mendapatkannya. Saya memaksa ingin ke Jawa (Pangandaran) untuk sekolah walaupun nenek sendiri tidak menyukainya” katanya sambil menangis. Lalu hadirin seketika hening.

“Jika kamu sekolah di Jawa, nanti kalo nenek meninggal kamu tidak dapat melihat nenek disemayamkan” lanjutnya. Suasanapun menjadi haru.

Marice, Febri, Emanuel dan orator lain bertutur tentang pengalaman di kampungnya, tentang toleransi, tentang cita-cita sebagai pemuda dan tentang kebahagiaan mereka dapat mengenal keragaman secara langsung di Kelas Multikultural.

Tidak hanya itu, pada acara puncak, aktivis Tuli juga turut berorasi didampingi seorang Juru Bicara Isyarat. Herwin, orator Tuli yang juga Koordinator Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) merasa bersyukur SMK Bakti Karya Parigi bisa menggelar festival yang memperhatikan orang tuli.

“Ini memperlihatkan bahwa sekolah dan masyarakat di sini ramah pada kaum tulis tak sekedar pada kaum dengar” katanya.

Kegiatan orasi ini dimeriahkan dengan karnaval, pameran rumah adat dan kuliner nusantara, pementasan teater dan tari, pemutaran dan pembuatan film juga diskusi budaya dengan tema “Pemuda Berkarya untuk Merawat Budaya”.

Acara itu diapresiasi sejumlah pihak, diantaranya Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Pangandaran, Undang Sohbarudin. Dalam diskusi yang digelar, Undang menjelaskan bahwa acara festival yang diikuti juga oleh masyarakat ini adalah upaya menyiapkan mental manusia Pangandaran agar lebih toleran dan ramah pada keragaman.

“Apalagi, visi kabupaten ini adalah menjadi destinasi mendunia. Jadi, sangat cocok” kata Undang.