Berita  

Beredar Di Media Sosial Video Kericuhan Sengketa Lahan di Pangandaran, Begini Penjelasannya

Pangandaran – Beredar video di media sosial dalam beberapa hari terakhir yang isinya terjadi perselisihan antara dua kelompok hingga terjadi ricuh.

Video pertama beredar di group Whatsaap dan group media sosial facebook, kejadian tersebut terjadi pada Kamis (29/8/2021) lalu. Lokasinya di lahan belakang kawasan pasar wisata Desa Pananjung Kecamatan/Kabupaten Pangandaran.

Dua kelompok yang berselisih itu adalah kelompok petani penggarap dan pihak swasta yang hendak melakukan pematangan lahan.

Dari rekaman video terungkap pihak petani mengklaim lahan tersebut adalah milik negara. Sementara pihak pengembang menyatakan lahan itu miliknya dengan menunjukan bukti pembayaran pajak atau SPPT.

Dihubungi terpisah Didik Puguh Indarto dari tim legal PT Trijaya Permana Sejati membenarkan jika video insiden itu terjadi di lahan yang sedang digarap oleh pihaknya.

“Kalau soal insiden itu, biarkan pihak kepolisian menjalankan tugasnya. Yang pasti kami sangat menyesalkan insiden tersebut,” kata Didik Puguh, Senin (2/8/2021).

Didik mengatakan jika ada pihak yang keberatan atas kepemilikan lahan silahkan tempuh jalur hukum.

“Jangan bar-bar atau dengan cara kekerasan. Jangan sampai mengganggu kondusifitas. Kalau ternyata tak mampu membuktikan ya sudah mundur, jangan pakai cara kekerasan,” kata Didik.

Didik menjelaskan PT Trijaya Permana Sejati menguasai lahan itu setelah ada peralihan hak atau jual beli.

Sebelumnya lahan SHGB nomor 7 sampai 14 itu merupakan lahan eks Startrust yang pada awal tahun 2000-an sempat terjadi sengketa.

Namun menurut Didik, masalah itu sudah clear, karena pada tahun 2003 sudah ada akta perdamaian. Sejak saat itu pemilik 8 sertifikat lahan SHGB nomor 7 sampai 14 Desa Pananjung itu adalah Ny. Parwati dan kawan-kawan, yang merupakan bos lembaga keuangan OCBC NISP.

“Dan kini sudah sudah dilakukan peralihan hak kepada kami PT Trijaya Permana Sejati. Semua aspek legal formal sudah kami tempuh,” kata Didik Puguh.

Kemudian pihak perusahaan milik pengusaha lokal Pangandaran H. Sodikin itu hendak melakukan pematangan lahan untuk pengembangan kawasan wisata.

“Merujuk dokumen RDTR kawasan itu memang diproyeksikan untuk pengembangan penunjang pariwisata, bukan lahan pertanian. Jadi lagi-lagi apa yang kami lakukan selaras dengan peraturan yang ada,” kata Didik.

Lahan dengan luas sekitar 46 hektar itu, rencananya akan dijual dengan cara dipecah, dijadikan sekitar 1.200 kavling dengan luas mulai 285 meter sampai 700 meter. Pembangunan diproyeksikan untuk menunjang aktivitas pariwisata entah itu hotel, pusat kuliner dan lainnya.

“Sekali lagi secara aspek legal kami berhak atas tanah tersebut. Kami membeli, dan itu dilindungi aturan. Kalau ada yang berkeberatan silahkan tempuh jalur hukum. Kalau nekat melakukan kekerasan dan melawan hukum, silahkan berurusan dengan aparat keamanan, kami tidak akan terpancing,” tegas Didik.

Sementara itu Ketua Perkumpulan Kelompok Petani Mandiri Pananjung Pangandaran Cucu Supriadi mengakui bahwa atas adanya perusahaan yang hendak membangun lahan tersebut, petani penggarap terpecah menjadi empat kelompok.

Mereka terpecah karena berbeda pandangan dalam menyikapi pembangunan lahan tersebut. Meski mayoritas petani penggarao ikut bergabung ke kelompok Cucu.

“Kalau kami menerima dan mendukung walaupun kami harus kehilangan lahan garapan,” kata Cucu.

Dia mengaku memahami bahwa sistem kepemilikan tanah ada aturannya.

“Mereka kan punya sertifikat HGB, jadi mereka pemilik yang sah,” kata Cucu.

Hanya saja pihaknya memiliki harapan agar pihak perusahaan memiliki kepedulian untuk memberikan pengganti. “Tanaman kami diganti, syukur kalau kami juga diberi lahan garapan pengganti, karena kami sudah menggarap lahan itu selama bertahun-tahun,” kata Cucu.***